Tak terasa, Sudah berbulan-bulan aku di kampung, tanpa kerjaan
berijazah universitas, maka profil demografiku dapat digambarkan seperti ini;
pengangguran intelek di soppeng, hahahha.
Refreshing, itulah yang kukatakan sekarang. Refreshing,secara diplomatis
istilahnya begitu. Namun, yang sesungguhnya terjadi adalah ungkapan refreshing
itu untuk membujuk diri sendiri. sebab aku ini tak lebih dari jutaan orang muda berijazah perguruan tinggi
di negeri ini yang gugup menghadapi masa depan. Yang pagi ini sedang mengaduk
teh dan berangan akan masa depan yang lebih baik, memiliki usaha dan dapat
mebelikan sesuatu untuk orang tua dari hasil keringat sendiri. Namun, angan itu
hilang seiring teh tersebut mulai dingin. Jika melihat tabiat para petinggi dan
wakil-wakil rakyat di negeri ini, rasanya suram, suram sekali masa depan itu.
Maka aku belajar melihat hidupku dari perspektif yang berbeda. Yakni,
saat-saat ini kuanggap aku tengah memberi hadiah pada diriku sendiri dengan
sedikit berleha-leha di kampung, begitulah kira-kira hahhah. Toh, selama ini
aku telah mendidik diriku demikian keras sejak kecil tanpa jeda, demi
pendidikan itu , demi masa depan itu.
Setiap pagi kunikmati saja saat-saat ketika orang-orang disekitarku
menjelma menjadi wartawan sebuah berita pagi yang tayang setiap pukul 7 pagi. Merepetlah
sindiran tentang mangapa aku tak kunjung kerja, mengapa aku tidak melanjutkan
sekolah, mengapa, mengapa dan why don’t you merried. Oh god make me shock.
Setidaknya aku tidak kekurangan pekerjaan sampai harus mengambil pekerjaan
sebagai komentator.
Betapa tak menyenangkan hidup menganggur. Berusia diatas 20 tahun , masih
makan beras hasil jerih payah orang tua, masih berteduh dibawah atap rumah orang
tua adalah bentuk penderitaan diam-diam, persis kanker dua belas jari yang
sedang kronis.aku telah mengambil hikmah dari beragam pengalaman pahit hidupku
tapi nyaris tak ada hikmah apa pun dari menganggur. Para penganggur bertempur
setiap hari melawan rasa pesimis yang menggerogoti pelan-pelan, waktu yang
hampir habis, kesempatan kian tipis saingan yang makin ganas, kepercayaan diri
yang longsor.
Sekarang aku paham mengapa para pengangguran sering tampak seperti
linglung. Dan mataku terbelalak membaca angka pengangguran Indonesia mencapai
puluhan juta orang. Begitu banyak orang menderita disini. Teman, di negeri ini
mengharapkan bahagia datang dari pemerintah. Lihatlah kami disini, yang menanti
janji-janjimu dulu sebelum duduk di ruangan berAC dengan kursi yang empuk.
Saat ini kurasakan merupakan
setiap pagi aku masih mendapati diriku sebagai seorang pemimpi. Demikian
kulalui hari demi hari dengan gugup dan menerka-nerka akan masa depanku kelak.
Inspirasi dari buku Andrea
Hirata MIMPI-MIMPI LINTANG hal
127

0 komentar:
Posting Komentar