Saat ini bukanlah saat untuk menyerah, tapi saat ini adalah saat untuk tetap semangat mencapai semua cita-cita
RSS

Kamis, 13 Oktober 2016

Dia Tidak Sepenuhnya SALAH


Sudah lebih satu bulan saya menginjakkan kaki di kota sidrap atau sidenreng rappang. Kata orang merantaulah maka kamu akan mengetahui banyak hal yang sebelumnnya tidak pernah kamu duga, hal itu pula yang saya lakukan saat ini. Banyak cerita selama berada di kota beras ini yang tidak sempat saya tuangkan dalam goresan pena. Namun, satu hal yang sangat menyetuh hati dan memompa semangat menulisku saya dapat pada bulan kedua saya berada di kota beras ini. 

Saat itu tanggal 12 oktober 2016 tepatnya pukul 09.37 saya tiba disalah satu sekolah di kabupaten sidrap, sebelumnnya saya ingin bercerita mengenai kegiatan saya disidrap yaitu melakukan penyuluhan kesehatan tentang penyakit kanker dan Tumor di berbagai instansi misalnya: instansi pendidikan, puskesmas, majelis ta’lim, dan instansi kepolisian. Dari sekian banyak instansi yang pernah saya datangi hari itu saya telah melihat sendiri wajah pendidikan kita saat ini.


Dengan mengendarai sepeda motor saya tiba di sekolah XX untuk memberikan penyuluhan, dipersilahkanlah saya masuk di dalam kantor dan di suruh menunggu sampai jam istirahat. Sambil menunggu saya di kagetkan dengan siswa yang masuk ke dalam kantor di iringi oleh suara omelan dari seorang guru, saya masih fokus dengan hp saya tanpa menoleh kebelakang karena menurutku itu bukanlah urusan yang perlu saya ketahui. Telingaku tidak bisa acuh terhadap pecakapan guru ini, ternyata siswa ini di hukum dengan alasan ketahuan merokok di area sekolah, saya berkata dalam hati kamu pantas mendapatkannya atas sebuah aturan yang telah kamu langgar.

Saya masih fokus dengan hp di dalam genggaman, sampai seorang guru perempuan datang dengan suara yang cukup lantang dan membuat saya tersentak dan berbalik kepada anak ini. Pemandangan yang begitu menakjubkan yang berhasil membuat hatiku meringis dan sedih dengan wajah pendidikan kita dan  tindakan guru ini. Tangan ibu guru sudah ada dibahu anak tersebut sambil menepuk berulang kali dan mempertanyakan alasan anak ini merokok di area sekolah, siswa tersebut hanya diam sampai dasinya pun ditarik-tarik dengan lampiasan emosi agar siswa ini menjawab pertanyaanya. Mataku berpidah kearah guru laki-laki yang dari tadi mengeluarkan statement kebenaran akan larangan merokok di area sekolah. Rasa sedih dan pilu terhadap dunia pendidikan semakin memuncak dan mataku pun mulai berkaca-kaca melihat  guru yang bukan sekedar bertindak sebagai pengajar atau pemberi pengetahuan (transfer of knowledges), tetapi lebih dari itu, guru sebagai agen pembelajaran (learning agent) yang segenap ucapan, pemikiran, sikap, serta perilakunya diteladani oleh anak didik (transfer of ethics and values). Dia guru yang katanya sebagai tenaga pendidik berdiri di dekat pintu dengan sepuntung rokok di tangannya dan dengan kalimat-kalimat kebenaran yang keluar dari mulutnya  bersamaan dengan hembusan asap putih menari-nari di udara sedang menghukum anak didiknya karena merokok di area sekolah.

Pantaskah dia menjadi seorang tenaga pendidik yang nantinya akan memberikan pendidikan kepada anak-anak di sekolah?


Didalam kamus besar bahasa indonesia dikatakan bahwa istilah pendidikan merupakan asal kata dari “didik” yang mengandung arti “perbuatan” (hal, cara dan sebagainya ). Pengertian tersebut memberikan kesan bahwa kata pendidikan lebih mengacuh kepada cara melakukan sesuatu perbuatan dalam hal ini mendidik. Sehubungan dengan pengertian tersebut  saya berpendapat ketika seorang guru memberikan pendidikan kepada murid-muridnya dia harus menjadi tolak ukur atau menjadi contoh terlebih dahulu.

 
Menjadi seorang guru, memang bukan perkara yang mudah. Walaupun guru memiliki niat baik untuk mengajar, mendidik, dan membagikan  ilmunya, ada saja murid yang ngobrol sendiri, ada yang ngelamun, ada yang main hape, ada yang malah gambar-gambar, dsb. Hal ini tentu membuat guru merasa jengkel, tidak jarang guru memutuskan untuk mengambil jalan tegas pada segala bentuk tindakan yang tidak menghargai jalannya proses belajar mengajar. Di satu sisi, saya mengerti bahwa setiap guru ingin merasa dihargai, tidak terlepas juga dengan saya. Namun di sisi lain, saya kira kita jangan sampai hanya berhenti pada solusi memarahi siswa. Karena sedikit banyak, hal itu justru akan menambah parah  cara pandang siswa terhadap guru-gurunya. Udah gurunya membosankan, galak lagi. Lengkaplah sudah. Selain itu, perlu di ketahui bahwa muridnya berada pada  masa remaja merupakan 'masa badai dan tekanan'? Karena setiap periode masa remaja mempunyai masalah sendiri-sendiri, dimana masa remaja adalah masa peralihan. Secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak sudah tidak merasa lagi dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada pada tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak.


Jadi, dalam hal ini ketika seorang guru ingin di hormati dan diindahkan aturan-aturannya dia harus melakukan pendekatan-pendekatan persuasif kepada muridnya dan meberikan contoh terlebih dahulu. Dalam konteks ini, saya pribadi berpendapat bahwa sebagai guru, kita perlu mengevaluasi penerapan "hukuman" sebagai alat kontrol di dalam kelas. Terutama pada siswa yang sedang dalam umur-umur krusial untuk menumbuhkan rasa kecintaan mereka terhadap sebuah ilmu. Saya pribadi sebetulnya kurang sepakat dalam bentuk hukuman yang kurang relevan pada penyelesaian masalah. Seperti contohnya : berdiri di depan kelas dengan satu kaki, merokok 10 batang sekaligus, lari keliling lapangan 10 keliling, mencabuti rumput, hormat di depan tiang bendera selama berjam-jam, menulis berulang kalimat "aku tidak akan terlambat" sebanyak 100x, dan bentuk hukuman sejenisnya yang tidak berfokus pada penyelesaian masalah.


Dalam hal ini, bukan berarti saya berpendapat bahwa tindakan menghukum itu sama sekali tidak perlu. Memberi hukuman bisa jadi tepat jika proses itu memberikan pengertian bagi siswa bahwa tindakan dia itu keliru. Berilah hukuman jika itu membuat siswa memahami konsekuensi dan risiko yang relevan dari tindakannya. Akan jauh lebih baik lagi, jika bentuk hukuman, teguran, sanksi, atau perintah dari guru tersebut berorientasi pada penyelesaian akar masalah yang sesungguhnya, bukan sekadar menjadi bentuk cara untuk mengontrol, memberi efek jera, memberi contoh pada siswa lain, apalagi hanya untuk sekadar melampiaskan emosi dan kejengkelan terhadap murid tersebut.




Diberdayakan oleh Blogger.