Sudah
lebih satu bulan saya menginjakkan kaki di kota sidrap atau sidenreng rappang. Kata orang merantaulah maka kamu akan
mengetahui banyak hal yang sebelumnnya tidak pernah kamu duga, hal itu pula
yang saya lakukan saat ini. Banyak cerita selama berada di kota beras
ini yang tidak sempat saya tuangkan dalam goresan pena. Namun, satu hal yang
sangat menyetuh hati dan memompa semangat menulisku saya dapat pada bulan kedua
saya berada di kota beras ini.
Saat itu tanggal 12 oktober 2016 tepatnya pukul 09.37 saya tiba disalah satu sekolah di kabupaten sidrap, sebelumnnya saya ingin bercerita mengenai kegiatan saya disidrap yaitu melakukan penyuluhan kesehatan tentang penyakit kanker dan Tumor di berbagai instansi misalnya: instansi pendidikan, puskesmas, majelis ta’lim, dan instansi kepolisian. Dari sekian banyak instansi yang pernah saya datangi hari itu saya telah melihat sendiri wajah pendidikan kita saat ini.
Dengan mengendarai sepeda motor saya tiba di sekolah XX
untuk memberikan penyuluhan, dipersilahkanlah saya masuk di dalam kantor dan di
suruh menunggu sampai jam istirahat. Sambil menunggu saya di kagetkan dengan
siswa yang masuk ke dalam kantor di iringi oleh suara omelan dari seorang guru,
saya masih fokus dengan hp saya tanpa menoleh kebelakang karena menurutku itu
bukanlah urusan yang perlu saya ketahui. Telingaku tidak bisa acuh terhadap
pecakapan guru ini, ternyata siswa ini di hukum dengan alasan ketahuan
merokok di area sekolah, saya berkata dalam hati kamu pantas mendapatkannya
atas sebuah aturan yang telah kamu langgar.

Pantaskah dia menjadi seorang tenaga pendidik yang nantinya akan memberikan pendidikan kepada anak-anak di sekolah?
Didalam
kamus besar bahasa indonesia dikatakan bahwa istilah pendidikan merupakan asal
kata dari “didik” yang mengandung arti “perbuatan” (hal, cara dan sebagainya ).
Pengertian tersebut memberikan kesan bahwa kata pendidikan lebih mengacuh
kepada cara melakukan sesuatu perbuatan dalam hal ini mendidik. Sehubungan dengan
pengertian tersebut saya berpendapat
ketika seorang guru memberikan pendidikan kepada murid-muridnya dia harus
menjadi tolak ukur atau menjadi contoh terlebih dahulu.
Menjadi
seorang guru, memang bukan perkara yang mudah. Walaupun guru memiliki niat
baik untuk mengajar, mendidik, dan membagikan ilmunya, ada saja murid yang ngobrol sendiri,
ada yang ngelamun, ada yang main hape, ada yang malah gambar-gambar, dsb.
Hal ini tentu membuat guru merasa jengkel, tidak jarang guru memutuskan untuk
mengambil jalan tegas pada segala bentuk tindakan yang tidak menghargai
jalannya proses belajar mengajar. Di satu sisi, saya mengerti bahwa setiap guru
ingin merasa dihargai, tidak terlepas juga dengan saya. Namun di sisi lain,
saya kira kita jangan sampai hanya berhenti pada solusi memarahi siswa.
Karena sedikit banyak, hal itu justru akan menambah parah cara pandang siswa terhadap guru-gurunya. Udah
gurunya membosankan, galak lagi. Lengkaplah sudah. Selain itu, perlu di ketahui
bahwa muridnya berada pada masa remaja
merupakan 'masa badai dan tekanan'? Karena setiap periode masa remaja mempunyai
masalah sendiri-sendiri, dimana masa remaja adalah masa peralihan. Secara
psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan
masyarakat dewasa, usia dimana anak sudah tidak merasa lagi dibawah tingkat
orang-orang yang lebih tua melainkan berada pada tingkatan yang sama,
sekurang-kurangnya dalam masalah hak.
Jadi,
dalam hal ini ketika seorang guru ingin di hormati dan diindahkan aturan-aturannya
dia harus melakukan pendekatan-pendekatan persuasif kepada muridnya dan meberikan
contoh terlebih dahulu. Dalam konteks ini, saya pribadi berpendapat bahwa
sebagai guru, kita perlu mengevaluasi penerapan "hukuman"
sebagai alat kontrol di dalam kelas. Terutama pada siswa yang sedang
dalam umur-umur krusial untuk menumbuhkan rasa kecintaan mereka terhadap sebuah
ilmu. Saya pribadi sebetulnya kurang sepakat dalam bentuk hukuman yang kurang
relevan pada penyelesaian masalah. Seperti contohnya : berdiri di depan
kelas dengan satu kaki, merokok 10 batang sekaligus, lari keliling
lapangan 10 keliling, mencabuti rumput, hormat di depan tiang bendera
selama berjam-jam, menulis berulang kalimat "aku tidak akan terlambat"
sebanyak 100x, dan bentuk hukuman sejenisnya yang tidak berfokus pada
penyelesaian masalah.
Dalam hal ini, bukan berarti saya
berpendapat bahwa tindakan menghukum itu sama sekali tidak
perlu. Memberi hukuman bisa jadi tepat jika proses itu memberikan
pengertian bagi siswa bahwa tindakan dia itu keliru. Berilah hukuman jika itu
membuat siswa memahami konsekuensi dan risiko yang relevan dari tindakannya.
Akan jauh lebih baik lagi, jika bentuk hukuman, teguran, sanksi, atau perintah
dari guru tersebut berorientasi pada penyelesaian akar masalah yang
sesungguhnya, bukan sekadar menjadi bentuk cara untuk mengontrol, memberi efek
jera, memberi contoh pada siswa lain, apalagi hanya untuk sekadar
melampiaskan emosi dan kejengkelan terhadap murid tersebut.